Untuk Perasaan Bahagia,
Hari ini, aku duduk di meja kerjaku, menatap layar komputer yang penuh dengan draf artikel yang masih menggantung. Beberapa tahun lalu, aku mungkin tak pernah menyangka bisa berada di sini, tanpa ruangan kecil penuh kertas, buku, dan kopi dingin. Namun ada hati yang dipenuhi cerita dari orang-orang yang tak terhitung jumlahnya. Oh ya, aku sekarang bekerja di tempat dimana pun aku suka. Aku mengetik tulisan ini, sedang berada di rumah ku yang penuh cinta dengan keberlimpahan-Nya.
Jadi, bagaimana semua ini dimulai?
Aku masih ingat saat pertama kali menulis artikelku. Rasanya seperti bermain-main dengan kata-kata, mencoba merangkai kalimat yang membuatku terdengar lebih dewasa dari usia 18 tahun ku waktu itu. Tentu, hasilnya jauh dari kata sempurna, tapi dari situlah semuanya bermula. Menjadi jurnalis tidak pernah terbayang sebagai jalan hidupku. Aku selalu ingin menulis, tapi pikiranku dulu terbatas pada fiksi, puisi, atau sekadar mencatat perasaan pribadi di buku harian.
Namun, setelah lulus sekolah, kehidupan membawaku pada pilihan-pilihan yang tidak terduga. Aku diterima di sebuah media nasional milih negara sebagai Penyiar Bahasa Indonesia. Di sana, aku diperkenalkan pada dinamika dunia jurnalistik yang begitu cepat. Deadline, wawancara, investigasi, revisi, dan... tekanan. Awalnya, aku terhimpit oleh tuntutan untuk terus menyelesaikan berita secepat mungkin, namun perlahan aku mulai menikmati prosesnya.
Tidak semua cerita itu indah.
Aku ingat saat pertama kali meliput berita dengan tema yang berat. Hatiku tenggelam ketika melihat kejadian anak kecil kakinya tersangkut di eskalator sebuah mall inisialnya MM. Sebagai jurnalis, aku harus menyampaikan fakta, tapi di balik setiap berita ada emosi dan cerita yang sering kali membuatku terjaga hingga larut malam. Inilah bagian dari pekerjaan yang paling sulit—menjaga jarak emosi namun tetap peduli. Tapi dari sini pula aku belajar tentang empati.
Perubahan adalah teman terbaikku.
Dunia jurnalistik berubah cepat, dan aku harus belajar untuk beradaptasi. Dari media Radio, harus pindah (konvergensi) ke media online. Teknologi membuat segalanya lebih mudah dan sekaligus lebih menantang. Algoritma, clickbait, engagement—semua hal baru yang harus kupelajari. Di tengah perubahan ini, aku mulai menjelajah media sosial, mencoba memanfaatkan platform seperti Instagram untuk membagikan cerita lebih visual dan mendalam. Di sinilah aku menemukan passion baruku—menceritakan kisah melalui foto dan video pendek. Aku doakan diri ku, semoga April 2025 nanti bisa maksimal.
Terkadang, aku bertanya-tanya apakah aku telah menempuh jalan yang benar. Ada hari-hari di mana aku merasa kelelahan, mempertanyakan apakah tulisan-tulisanku benar-benar membuat perbedaan. Tapi, setiap kali aku mendapatkan respons dari pembaca yang mengatakan bahwa artikelku menginspirasi mereka, perasaan itu seperti dorongan yang memacuku untuk terus menulis.
Saat ini, karier jurnalisme memberiku perspektif baru tentang kehidupan.
Tidak ada yang pasti di dunia ini. Setiap kisah yang kutulis adalah pengingat bahwa setiap orang memiliki jalan mereka sendiri, dan aku beruntung bisa menjadi saksi dari berbagai perjalanan hidup tersebut. Dan aku? Perjalananku sendiri terus berlanjut, dengan kata-kata sebagai teman setiaku.
Salam,
Aku, jurnalis yang sedang terus belajar
More From Author
Elegi Masa Lalu